Sabtu, 08 Januari 2011

Hilangnya Dikotomi Ilmu Dalam Islam


Hilangnya dikotomi ilmu dalam Islam
Oleh : Ustadz Jaswo
Di dalam agama Islam tidak dikenal perbedaan maupun pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan adalah bahwa dalam dunia fisik atau materi tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri. Dunia fisik, sebagaimana dunia yang lain (immateri), memperoleh eksistensinya dari dan terkait dengan Tuhan.  Pandangan ini mengacu kepada keyakinan Islam yang paling utama, yaitu tauhid. Ilmu pengetahuan, dalam pandangan Islam pada hakekatnya milik Allah dan manusia hanya mampu  menguasainya dengan terbatas. Sebagai hamba yang berada di alam nyata, manusia dapat memiliki pengetahuan disebabkan kekuatan nalar atau akal yang diberikan Allah kepadanya. Dengan demikian, terdapat hubungan antara pandangan  dunia tauhid dengan semangat keilmuan karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya menjadi jembatan untuk mencapai kebenaran agama, yaitu tauhid. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum.
Sebaliknya, dalam pandangan Barat, ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia materi di mana untuk mencapai kebenaran dilakukan eksperiment dengan menggunkan logika dan pengalaman empiris. Ilmu pengetahuan, dalam pandangan ini, adalah ciptaan manusia secara sadar yang berpangkal dari semangat mencari kebenaran dan objektivitas, penghormatan kepada bukti empiris dan pikiran kritis. Paradigma ini melahirkan pandangan bahwa agama hanya berkaitan dengan hal-yang yang bersifat rohani, sedangkan ilmu pengetahuan mengurus hal-hal yang bersifat materi.
Pandangan dikotomis ini merupakan produk filsafat Barat yang menafikan nilai-nilai spiritualitas dan mengagungkan materi (materialisme). Pandangan ini tidak saja bertentangan dengan dalil tauhid, tatapi juga bertentangan aksiomatik bahwa kebenaran itu bersifat relatif dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak terkecuali  bidang eksakta seperti matematika dan fisika.
Islam bukan hanya semata-mata agama dalam pengertian terbatas, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam menolak pemisahan antara agama dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Bagi Islam antara agama dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan (integral). 
Memandang dampak dan implikasi negatif dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, maka sudah waktunya bagi kaum  muslim –khususnya lembaga-lembaga Islam- untuk melakukan “reintegrasi ilmu-ilmu”, Dalam kerangka ini, ilmu-ilmu dipandang sebagai suatu kesatuan, yang setara hierarkhinya, yang dari perspektif Islam, sama-sama mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya.
Namun, meskipun Islam mengajarkan integralisme keilmuan pada tingkat konseptual, tetapi harus diakui bahwa pada tingkat praktis tidak jarang terjadi disharmoni, dan dikotomi di antara keduannya. Hal ini terjadi diantaranya karena pengaruh Barat, yang menyudutkan kaum muslimin ke satu sudut pandang yang menitik beratkan pada kehidupan ukhrawi saja, yang diharapkan umat Islam akan semakin tertinggal dan sisi-sisi keilmuan yang lain bagi umat Islam akan mengalami kemandekan dan terabaikan begitu saja karena anggapan bahwa sisi-sisi keilmuan yang lain itu hanya urusan duniawi saja. Bahkan dikotomi itu sering menjangkau pistemologis, yakni antara wahyu dengan akal, atau antara “ilmu-ilmu agama”  dengan “ilmu-ilmu umum”. Sebab itu, guna mengatasi disharmoni dikotomi tersebut para pemikir dan ilmuwan muslim menawarkan klasifikasi ilmu lengkap dengan hierarkhi mereka masing-masing.
Berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal pemisahan esensial antara “ilmu agama” dengan “ilmu umum” (profan).  Berbagai disiplin ilmu  dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarkhi tertentu, tetapi hierarkhi itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan mengapa para pemikir dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-muslim ke dalam hierarkhi ilmu pengetahuan menurut Islam.
Seandaiya terjadi pengelompokan ilmu menjadi dua klasifikasi, maka masing-masing ilmu tersebut adalah merupakan dua sisi dari satu koin yang sama, yang pada esensinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Klasifikasi pertama adalah al-ulum al-naqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan penggunaan akal dan nalar. Klasifikasi kedua adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu intelek, yang  diperoleh terutama melalui penggunaan akal dan pengalaman pengujian empiris. Kedua klasifikasi ilmu tersebut di atas secara bersama-sama disebut sebagai al-ulum al-husuli, yaitu ilmu-ilmu perolehan. Penyebutan ini adalah untuk membedakan dengan “pengetahuan” (ma’rifah) yang diperoleh melalui ilham (kasyf).
Ilmu pengetahuan dengan tegas bersendi kepada pokok periksa panca indera yang lima : penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan-kulit dan kecapan lidah dengan segala alat pembantunya, yang dibuat manusia dengan kepandaiannya. Tapi seluas-luas medan ilmu pengetahuan, tidaklah dia akan melampaui atau melebihi daerah yang dapat dicapai dan dikenal manusia dengan pancainderanya dan dengan pertolongan alat-alat yang ada padanya itu. Maka ilmu pengetahuan itu terhenti langkahnya di batas yang tidak dapat lagi dikenal dengan pancaindera dan alatnya itu.
Untuk mengetahui kenyataan yang di balik batas itu, manusia memerlukan jalan lain, dari yang dapat dihasilkan dengan kelengkapan alat anggota di dalam kejadiannya dan alat-alat lain yang dapat dibuatnya. Maka jalan itulah yang dibukakan Tuhan kepada manusia dengan perantara Agama. Jadi, artinya dengan jalan ilmu pengetahuan semat-mata, manusia tidak akan dapat mengenal kenyataan di balik batas itu.
Adalah merupakan kenyataan, bahwa kepercayaan agama sama sekali tidak akan bertentangan dengan pendapat ilmu-akal dan hukum-pikiran, sebab orang yang ber-agama tidak berlainan sifat akal dan hukum pikirannya dari manusia lainnya. Dan lagi jika kepercayaan agama hendak menyuruh manusia menerima sebagai kenyataan yang wajib diterimanya begitu saja, suatu perkara yang terang bertentangan dengan akalnya, tidaklah kepercayaan semacam itu akan sungguh kuat di dalam akalnya, dan tidaklah akan ada kekuatan dari kepercayaan semacam itu untuk mengemudikan kehendak dan kelakuannya. Sebaliknya malah, ilmu agama tidak akan mengabaikan kenyataan yang ditetapkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan. Di dalam ajaran agama dianjurkan agar setiap pokok kepercayaan agama, harus dikuatkan oleh paham dan pengertian tentang itu, dengan alasan ilmu pengetahuan.
Kedudukan ilmu pengetahuan dan agama adalah bukan bertentangan, melainkan agama adalah menambah dan menyambung apa yang tidak dapat lagi dilanjutkan oleh ilmu pengetahuan, karena sudah melampaui keluar medannya.
Pengelompokan disiplin “ilmu agama” secara implisit mengisyaratkan adanya dikotomi yang lazim di kalangan muslimin tentang “ilmu agama” pada satu pihak, dan “ilmu umum” pada pihak lain. Dikotomi yang muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia muslim, baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan pendidikan.
Pandangan keilmuan dalam Islam yang menitik beratkan pada satu sudut pandang kehidupan ukhrawi saja, akan mengakibatkan dinamika keilmuan Islam hanya berkisar pada ilmu syari’at dan tashawuf saja. Sedangkan dari sisi lain mengalami kemandekan karena anggapan ilmu-ilmu itu semata-mata urusan duniawi. Dari sini mulai muncul dikotomi antara ulum ad-diin dan ulum ad-dunya, sampai sampai antara madrasah dan sekolah, antara kitab dan buku pun harus dibedakan.
Tafaqquh Fiddin yang dipahami secara sempit dan tebatas pada apa yang dimaksud dengan ulum ad-diin (ilmu-ilmu agama), secara eksklusif tidak pernah dikorelasikan dengan pemahaman ad-diin itu sendiri secara utuh, sedangkan ad-diin telah dipahami sebagai ketentuan-ketentuan Ilahi yang mendorong siapa pun yang berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan akhirat, yang tidak hanya mencakup urusan akhirat saja.
Dengan demikian, berarti ulumuddiin secara luas adalah ilmu-ilmu yang mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan wadh’ Ilahi, menyangkut urusan duniawi maupun ukhrawi. Kemudian bila wadh’ Ilahi itu mendorong bagi orang-orang yang berakal ke arah pencapaian sesuatu yang baik di dunia atau di akhirat mereka, maka ilmu-ilmu duniawi tidak perlu dihilangkan dari klasifikasi ulumuddin, karena persepsi dikotomis seperti itu mengakibatkan dimanika ilmiah dalam Islam cenderung lemah atau malah mandek, bahkan akan menjadikan umat Islam tertinggal dan lemah.
Kemandekan dinamika ilmiah inilah yang harus diatasi dengan memahamkan dan menegaskan kembali tentang Tafaqquh Fiddiin pada pengertian secara luas, yang mengarah pada pendalaman ilmu-ilmu agama dan semua ilmu-ilmu umum yang mendorong ke arah pencapaian sesuatu yang baik di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian dikotomi ilmu dan sikap ambivalen sebagian umat Islam, yang beranggapan bahwa yang wajib diketahui adalah ilmu-ilmu agama secara khusus akan hilang, sesuai dengan ketentuan agama Islam itu sendiri dan akan terjadi integrasi intelektual dan ulama.
Untuk mempersiapkan kader ulama’ harus dilengkapi dengan dua kemampuan dasar, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Insya Allah dengan upaya tersebut akan melahirkan ulama’ yang berfungsi sebagai pendidik masyarakat, yaitu ulama yang berpengetahuan dalam, berpendidikan luas, serta mempunyai semangat yang dinamis yang mampu mempertemukan agama dan pengetahuan.
Ulama yang dimaksud dalam Al-Qur’an bukan hanya ulama dalam bidang agama saja, tetapi ulama dalam segala bidang ilmu pengetahuan yang lebih luas lagi, atau dengan ungkapan lain, karena agama Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan umum (Iptek) pun merupakan komponen yang sangat perlu bagi agama Islam.
Karena itu, pendidikan agama bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran beragama, melainkan juga meningkatkan kemampuan umat untuk melihat pembangunan dalam perspektif transcendental, untuk melihat iman sebagai sumber motivasi pembangunan dan untuk mengikutsertakan iman dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern. Dengan demikian dapat meningkatkan kemampuan umat untuk menjalankan “moral reasoning”, untuk menguji keadaan dan kelakuan yang memerlukan suatu pertimbangan baru oleh karena ketentuan yang ada tidak mengaturnya.
Ilmu apapun, tidak hanya pendidikan agama saja, tetapi juga pengajaran ilmu-ilmu umum seperti sains,  teknologi, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu pengetahuan sosial, ilmu kewarganegaraan, ilmu-ilmu ekonomi, managemen dan lain sebagainya yang diarahkan untuk menuju kepada penyadaran akan kebesaran Allah, dan dakwah Islam, harus diajarkan dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, tanggung jawab dakwah Islam dan pembinaan keimanan dan ketakwaan tidak hanya dibebankan pada pendidikan agama Islam saja, karena yang mengantarkan manusia pada kesadaran akan kebesaran Tuhan dan menjunjung tingga agama-Nya bukan hanya melalui ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga melalui ilmu-ilmu yang lain.  Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah terpadu antara keduanya, baik ilmu-ilmu agama itu sendiri maupun ilmu-umum.
Bertitik tolak dari uraian di atas, penekanan Tafaqquh Fiddiin dalam skripsi ini adalah bukan hanya pendalaman ilmu agama saja yang masuk dalam kategori ibadah mahdhoh, yaitu : ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Namun lebih luas lagi, yaitu : mencakup seluruh ilmu-ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan dan pelaksanaan agama, serta pengembangannya, termasuk ilmu keduniaan yang diarahkan untuk tujuan-tujuan akhirat.



1 komentar:

  1. Assalaamu alaikum.
    Silahkan baca "Dikotomisme Ilmu di dalam Islam. Adakah Itu?"

    BalasHapus