Minggu, 09 Januari 2011

PENTINGNYA PEMBELAJARAN AQIDAH DAN AKHLAK BAGI REMAJA


 PENTINGNYA PEMBELAJARAN AQIDAH DAN AKHLAK
BAGI REMAJA

Oleh : Ustadz Jaswo
Kita sudah memasuki tahun 2011 dan menapaki Milenium ketiga. Tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Kita bukan lagi dalam alam kehidupan tradisional dan kehidupan industri, tetapi kita hidup dalam alam kehidupan komunikasi dan informasi. Transparasi kehidupan yang global seolah – olah mengisyaratkan bahwa dunia ini makin megecil bagaikan “desa dunia” nyaris tanpa batas. Disebabkan derasnya arus komunikasi dan informasi yang menyebar ke dalam denyut nadi kehidupan umat manusia.
Dari arus komunikasi dan informasi tanpa batas tersebut maka sudah tidak dapat dihindarkan lagi dampak negatif yang ditimbulkan, seperti halnya anak – anak pelajar pada saat ini sudah banyak yang menjadi pecandu narkoba. Di Indonesia setiap tahun Rp 288 triliun terbuang percuma untuk menikmati narkoba[1]. Contoh lain yang banyak di tiru anak-anak remaja usia pelajar Madrasah Tsanawiyah adalah cara berpakaian ketika waktu sekolah, yang kurang disiplin, baju jarang dimasukan, itu semua dilakukan karena seringnya anak didik menonton tayangan filem atau sinetron – sinetron tentang pelajar yang sudah tidak memperhatikan etika – etika ketimuran.
Sebenarnya masih banyak lagi masalah – masalah yang menimbulkan kenakalan remaja diantaranya adalah tawuran antar pelajar yang semua itu terjadi dikarenkan pengaruh dari minum – minuman keras, pada saat ini kalau kita lihat ketika ada suatu pesta atau pentas seni, pasti tidak ketinggalan dengan huru-hara anak muda yang semuanya itu masih duduk di dalam bangku sekolah.
“Belakangan ini muncul fenomena baru kenakalan pelajar yang sungguh membuat bulu kudu kita berdiri karena telah menjerumus ke tindak kriminal kelas tinggi. Dalam setahun belakangan diberitakan banyak perlajar semarang yang terlibat berbagai tindakan asosial tersebut”[2].

Keadaan umat Islam di Indonesia secara kuantitas sangat memprihatinkan, karena adanya penurunan persentase dari 90% menjadi 87%[3]. Hal ini mengisyaratkan bahwa Aqidah Akhlak sangat penting dalam upaya mempersiapkan generasi penerus yang beriman. Anak adalah individu yang memiliki jiwa yang penuh gejolak dan lingkungan sosial yang ditandai dengan perubahan sosial yang cepat, yang mengakibatkan kesimpang siuran norma serta dalam proses identifikasi diri atau mencari jati dirinya. Dalam kondisi jiwa yang labil pada usia anak – anak, maka agama termasuk didalamnya aqidah dan akhlak memilki tuntunan dan peran yang sangat penting.
Dari beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengaruh era globalisasi tersebut, maka tugas pendidiklah yang harus berperan aktif untuk mengatasi permasalahan – permasalah yang akan menyebabkan bangsa kita menjadi bangsa yang tidak bermoral dan menjadi cemoohan bangsa lain, melalui lembaga – lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan islam dimana didalamnya terdapat pendidikan akhlakul karimah.
Adapun salah satu misi pendidikan nasional adalah meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global[4].
Oleh sebab itu fungsi dari lembaga pendidikan adalah mencetak siswa – siswi yang mempunyai akhlakul karimah sesuai dengan misi pendidikan nasional. Dengan ditunjang materi aqidah akhlak yang mengandung nilai – nilai aqidah dan akhlak sehingga bisa memajukan pendidkan indonesia, Karena pada saat ini kemerosotan moral bangsa indonesia dan tingkat korupsi yang semakin tinggi itu disebabkan karena akhlak bangsa indonesia dari hari kehari semakin merosot.
Arah pembangunan nasional Indonesia adalah merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan tersebut tidak hanya terfokus pada pembangunan yang bersifat fisik saja, tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah juga pembangunan psikologis manusianya.
Mata pelajaran Aqidah Akhlak merupakan salah satu mata pelajaran yang terbentuk dari manifestasi pembangunan batiniah yang berhubungan dengan moral, akhidah maupun ibadah. Mata pelajaran ini dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang baik untuk menyebarkan, mengenalkan, menanamkan dan mendalami nilai-nilai religius, terutama mereka yang beragama Islam.
Perilaku umat islam pada saat ini merupakan hasil dari pembentukan perilaku yang bersumber dari pembelajaran aqidah akhlak. Karena didalam mata pelajaran aqidah akhlak terdapat beberapa muatan tentang aklak, yaitu tentang membiasakan berperilaku dengan sifat –sifat terpuji, membiasakan menghindari sifat – sifat tercela dan bagaimana cara bertatakarama yang baik[5]. Dari keterangan di atas menununjukan bahwa pembelajaran aqidah akhlak mempunyai peranan penting dalam mewujudkan perilaku anak didik dalam bergaul disekolah maupun dilingkungan masyarakat. Salah satu contoh bagai mana sikap seorang siswa kepada bapak/ibu guru ketika berpapasan dijalan, pasti ketika siswa sudah diajari dengan sifat – sifat terpuji kepada seorang guru pasti siswa akan mempraktikan apa yang ia dapat dari pelajaran aqidah akhlak tersebut, tetapi anak didik yang tidak dibekali dengan akhlak-akhlak terpuji kepada seorang guru maka ia tidak akan mengetahui bagaimana cara menghormati seorang guru.


[1] Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2005) hlm 83.
[2] Ibid, hlm 94
[3] Hasan Basri, Degradasi Nilai – nilai Islam di Era Modernisasi,  ( Jakarta : Majalah Estafet, 1989), hlm. 35  
[4] Moh. Rosyid, Revitalisasi Pendidikan Nasional (Kudus : STAIN Kudus Perss, 2007), hlm 2.
[5] Muhaimin, Arah baru pengembangan Pendidikan Islam (Bandung : Nuansa, 2003) hlm 82.

GURU CONTOH DALAM KEDISIPLINAN BAGI MURID


GURU CONTOH DALAM KEDISIPLINAN BAGI MURID
Oleh : Ustad Jaswo
              

Proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antar guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar.  Interaksi dalam peristiwa belajar-mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antar guru dan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.[1]
Setiap sekolah memerlukan beberapa orang guru, sehingga masing-masing anak didik akan mendapat pendidikan dan pembinaan dari beberapa orang guru yang mempunyai kepribadian dan mentalnya masing-masing. Setiap guru akan mempunyai pengaruh terhadap anak didik. Pengaruh tersebut ada yang terjadi melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukan dengan sengaja dan ada pula yang terjadi secara tidak sengaja, bahkan tidak disadari oleh guru, melalui sikap, gaya dan macam-macam penampilan kepribadian guru. Bahkan dapat dikatakan bahwa kepribadian guru akan lebih besar pengaruhnya dari pada kepandaian dan ilmunya, terutama bagi anak didik yang masih dalam usia kanak-kanak dan masa meningkat remaja, yaitu tingkat pendidikan dasar dan menengah, karena anak didik pada tingkat tersebut masih dalam masa pertumbuhan.
Guru merupakan elemen terpenting dalam sebuah sistem pendidikan. Ia merupakan ujung tombak. Proses belajar siswa sangat dipengaruhi oleh bagaimana siswa memandang performance guru mereka. Kepribadian guru seperti memberi perhatian, hangat dan suportif (memberi semangat) diyakini bisa memberi motivasi yang pada gilirannya meningkatkan prestasi siswa. Empati yang tepat seorang guru kepada siswanya membantu perkembangan prestasi akademik mereka secara signifikan.  Guru juga perlu membangun citra yang positif tentang dirinya jika ingin agar siswanya memberi respon dan bisa diajak kerja sama dalam proses belajar mengajar.[2]
Ki Hajar Dewantara, seorang pakar pendidikan Indonesia mempunyai sebuah konsep, yang berasal dari Bahasa Jawa, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani[3]. Yang artinya : Seorang guru harus menjadi teladan bagi muridnya. Seorang guru harus mendorong kemauan atau kehendak murid, dan membangkitkan hasrat murid untuk berinsiatif dan bertindak. Seorang guru harus mendorong, memotivasi atau membangkitkan semangat. Jadi seorang guru diharapkan dapat melihat, menemukan dan memahami bakat atau potensi-potensi apa yang timbul dan terlihat pada murid untuk selanjutnya dapat dikembangkan dengan memberikan motivasi atau dorongan ke arah pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.
Dengan demikian, jelas bahwa diantara faktor yang mempengaruhi motivasi siswa adalah keteladanan guru.  Perbuatan dan tindakan kerap kali besar pengaruhnya dibandingkan dengan kata-kata. Dari sini jelas, bahwa diantara beberapa hal yang dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa adalah faktor kedisiplinan guru sebagai orang yang "digugu dan ditiru" serta sebagai suri tauladan siswa. Hal ini sesuai metode keteladanan yang telah diterapkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah dalam mendidik ummat, sebagaimana fiman Allah dalam Surat Al-Ahzab Ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَاليَوْمَ الأخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً (الأحزاب, ۲۱ )
Artinya : Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. Al-Ahzab ; 21)[4]

Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk megikuti dan menaati peraturan-peraturan, nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam satu lingkungan tertentu. Kesadaran itu antara lain, kalau dirinya berdisiplin baik maka akan memberi dampak yang baik bagi keberhasilan dirinya pada masa depannya. Disiplin juga menjadi sarana pendidikan. Dalam mendidik disiplin berperan mempengaruhi, mendorong, mengendalikan, mengubah, membina dan membentuk perilaku-perilaku tertentu sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan, diajarkan dan diteladani. Karena itu, perubahan perilaku seseorang termasuk prestasinya merupakan hasil dari suatu proses pendidikan dan pembelajaran yang terencana, informal atau otodidak. Orang yang disiplin selalu membuka diri untuk mempelajari banyak hal. Sebaliknya, orang yang terbuka untuk belajar selalu membuka diri untuk belajar berdisiplin dan mendisiplinkan dirinya.[5]
Di dalam pendidikan, sekolah-sekolah masih perlu meningkatkan kedisiplinan. Terutama guru-gurunya sebagai salah satu faktor penentu dalam tercapainya tujuan pembelajaran di sekolah. Sebagaimana kita ketahui bahwa  tujuan sekolah akan dapat dicapai jika semua guru yang mengajar di sekolah tersebut mempunyai kepribadian yang sejalan dengan tujuan sekolah itu. Dengan disiplin yang baik, akan berdampak baik pula bagi perubahan perilaku dan prestasi siswa.  Apabila disiplin sekolahnya baik, motivasi siswa akan mempengaruhi perubahan perilaku dan prestasi siswa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai kedisiplinan yang akan dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja maupun tidak, khususnya dalam hal kedisiplinan.



[1] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 4
[2] Jamaluddin, Pembelajaran Yang Efektif,  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001),  h. 36.
[3] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 63.
[4] RHA. Soenarjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta; PT. Intermasa, 1985), h. 670.
[5] Tulus Tu'u, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa, (Jakarta; PT. Grasindo, 2004), h. 8.

PERANAN LINGKUNGAN KELUARAGA DALAM PERKEMBANGAN ANAK

 PERANAN LINGKUNGAN KELUARAGA DALAM PERKEMBANGAN ANAK
Oleh : Ustadz Jaswo

Keluarga merupakan kesatuan terkecil dari masyarakat yang mengelola segala kebutuhan rumah tangga sendiri. Seiring dengan pesatnya perkembangan dan kemajuan dunia di segala bidang seperti politik, ekonomi, sosial, perindustrian, kenegaraan, kesenian, ilmu pengetahuan dan pendidikan menyebabkan timbulnya berbagai macam problema di lingkungan keluarga. Orang tua selaku kepala keluarga sibuk akan aktifitasnya sendiri. Seorang ayah dituntut agar bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sejajar dengan itu kaum wanita atau ibu mempunyai tugas mencurahkan tenaga dan pikiran dalam membina rumah tangga serta mendidik anak-anaknya. Dengan adanya emansipasi, maka banyak wanita yang menyimpang dari perananya, bekerja diluar rumah tangga sehingga tugas mendidik anak-anaknya tidak bisa terpenuhi.
Di dalam keluarga yang sudah sedemikian seperti di era sekarang ini, keluarga yang akrab dan kecil hanya berfungsi mengembangkan keturunan dan membina rumah tangga dalam suasana yang sangat sederhana. Fungsi inilah yang tetap dipegang oleh keluarga di zaman sekarang ini. Keluarga atau orang tua tidak mungkin mampu mendidik anak mereka di bidang akhlak dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk bekal hidupnya di masa depan.
Alam sekitar yang terdiri dari manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah merupakan lingkungan yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Segala perilaku dan perbuatan manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan, bahkan merupakan faktor penting dalam menentukan kepribadian manusia. Sebagaimana dikatakan oleh John Locke dalam aliran empirisme bahwa “Perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman yang diperoleh sejak kecil”.[1] Dia memandang bahwa anak yang dihirkan itu ibarat kertas putih yang bersih dan masih kosong belum terisi tulisan apapun.
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pembentukan pribadi anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama lingkungan keluarga. Keluarga yang harmonis dan agamis dapat menunjang keberhasilan pribadi anak sehingga dapat memiliki akhlak mulia. Tugas keluarga yang berat ini tidak bisa ditanggung sendiri, tetapi harus dibantu oleh pihak lainyakni sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sekolah berkewajiban membantu keluarga dalam mendidik anak-anak dan melanjutkan pendidikan yang telah diberikan oleh orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan disekolah dipengaruhi oleh pendidikan dalam keluarga, karena pendidikan keluarga merupakan fondamen dalam membentuk akhlak anak sebagai bekal utama untuk melanjutkan pendidikan di sekolah maupun di masyarakat.
Dengan demikian akhlak anak terbentuk dimulai dari lingkungan keluarga itu sendiri kemudian berpijak pada landasan iman kepada Allah S.W.T. dan terdidik untuk selalu ingat, taat serta melaksanakan dalam prilaku kehidupan sehari-hari. Ia ingin memiliki potensi dan respon secara instinktif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Disamping terbiasa melaksanakan akhlak mulia, juga sebagai benteng pertahanan relegius yang berakar pada hati sanubarinya. Kebiasaan mengingat kepada Allah S.W.T. yang telah dihayati dalam dirinya serta intropeksi diri dapat menguasai pikiran dan perasaan sehingga bisa memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan-kebiasaan dosa dan tradisi jahiliyah yang rusak, bahkan penerimaanya dalam setiap kebaikan akan menjadi salah satu kebiasaan dan kesenangan terhadap keutamaan kemudian akan menjadi akhlak dan sifat yang mulia.
Hal ini sesuai dengan firman Allah S.W.T. di dalam Al-qur’an QS. Ali Imron 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ ج وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيـْظَ الْقَـلْبِ لاَنْفَضُّـواْ مِنْ حَوْلِكَ ص فاَعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِـرْلَهُمْ وَشـَاوِرْهُمْ فِى اْلاَمْرِ ج فَاِذاَ عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلى اللهِ ط إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمُتَـوَكِّلِـيْنَ (العمران : ١٥٩).
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kami berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kami bersikap keras lagi berhati kasar, tentunya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kami telah membulatkan tekad maka bertaqwalah kepada Allah S.W.T. Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”[2]


Berdasarkan firman Allah S.W.T. di dalam Al-qur’an QS. At-Tahrim 6 :
ياأَيُّهاَ الَّذِيْنَ أمَنُوْا قُوْا اَنْفُسِكُمْ وَاهْلِكُمْ ناَراً وَقُوْدُهاَ النّاَسُ واَلْحِجَارَةُ عَلَيْهاَ مَلئِكَةٌ غِلاَظٌ شِداَدٌ لاَيَعْصُوْنَ الله ماَاَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ ماَيُؤْمَرُوْنَ (التحريم : ٦)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintah-Nya akepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.[3]
Berdasarkan hadits Nabi Muhammad S.A.W. Al-baihaqi meriwayatkan hadits dari Ibnu Annas RA. Dari Rosulullah S.A.W. bahwa beliau bersabda :
مِنْ حَقِّ الْواَلِدِ عَلىَ الْوَلَدِ أَنْ يُحْسـِنَ أَدَبـَهُ وَيحُْسـِنَ إِسْمَـهُ.
Artinya :  “Diantara hak orang tua terhadap anaknya adalah mendidiknya dengan budi pekerti yang baik dan memberi nama yang baik”[4]
Dengan demikian maka dalam lingkungan sekolah hendaknya diciptakan lingkungan yang islami. Siswa ditanamkan sikap hormat kepada guru, saling menghormati dan menyayangi sesama teman, sehingga tertanam dalam jiwa anak akhlak yang mulia dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penelitian sementara dijumpai masih ada siswa-siswi MTs. Tarbiyatul Islamiyah Raci Kec. Batangan Kabupaten Pati yang hidup ditenga-tengah keluarga yang kurang memperhatikan terhadap perkembangan pribadi anak-anaknya dan juga adanya lingkungan yang kurang menunjang terhadap sikap dan perilaku anak. Sebagai contoh, banyak anak yang hanyut dalam pergaulan bebas diluar rumah, melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma-norma agama, sementara keluarga atau orang tua tidak peduli dengan keberadaan anaknya.
Hal ini sangat mempengaruhi terhadap anak sehingga tingkah lakunya menyimpang dari batasan-batasan akhlakul karimah.
Berdasarkan lartar belakang masalah tersebut diatas, maka


[1]  Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyah, Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hlm. 293.
[2] Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta : PT. Intermasa, 1985), hlm. 103.
[3]   Ibid., hlm. 103.
[4]  Abdullah Nasih Ulwa, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam , (Semarang : CV. Asy-Syifa, 1981), hlm. 178.

PENTINGNYA KEMAMPUAN MENGAJAR BAGI GURU


PENTINGNYA KEMAMPUAN MENGAJAR BAGI GURU
Oleh : Ustadz Jaswo


Elemen terpenting dalam sebuah sistem pendidikan adalah guru, karena ia merupakan ujung tombak. Proses belajar siswa sangat dipengaruhi oleh bagaimana siswa memandang performance guru mereka. Kepribadian guru seperti memberi perhatian, hangat dan suportif (memberi semangat) diyakini bisa memberi motivasi yang pada gilirannya meningkatkan prestasi siswa. Empati yang tepat seorang guru kepada siswanya membantu perkembangan prestasi akademik mereka secara signifikan.  Guru juga perlu membangun citra yang positif tentang dirinya jika ingin agar siswanya memberi respon dan bisa diajak kerja sama dalam proses belajar mengajar.[1]
Guru yang secara luas berfungsi sebagai pendidik, merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam proses belajar mengajar. Begitu pentingnya seorang guru, sehingga Imam Syafi'i menggambarkannya dalam sya'irnya -sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ludjito-,  yang artinya : "Bangun dan hormatilah guru kalian dengan segala penghormatan, (karena) guru hampir sama dengan utusan Tuhan". [2]
Sebagai faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi. Oleh sebab itu, guru seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Untuk melaksanakan tugasnya secara baiksesuai dengan profesi yang dimilikinya, guru perlu menguasai berbagai hal sebagai kompetensi yang dimilikinya.
Dalam proses belajar mengajar guru harus memiliki kemampuan tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar-mengajar pada khususnya. Untuk memiliki kemampuan tersebut guru perlu membina diri secara baik karena fungsi guru itu sendiri adalah membina dan mengembangkan emampuan siswa secara profesional di dalam proses belajar mengajar.[3]
Agar memenuhi harapan pemakai lulusan, guru tentunya perlu memiliki perangkat kemampuan yang dipersiapkan melalui program lembaga pendidikan tenaga kependidikan sesuai dengan harapan dan cita-cita bangsa. Oleh karena itu, profesionalisme guru sebagai tenaga kependidikan perlu ditingkatkan. Dalam pengertian profesionalisme telah tersirat adanya suatu keharusan memiliki kemampuan agar profesi itu berfungsi sebaik-baiknya.
Karena guru adalah sebagai pemegang peranan utama dalam proses belajar-mengajar yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dan berperan dalam terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya. Lebih-lebih guru Pendidikan Agama Islam, sebagai mata pelajaran  yang bertujuan untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa  sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan mempertimbangkan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional[4].  Maka guru diharuskan mempunyai kemampuan yang memadai dan cukup untuk menjalankan tugasnya sebagai guru, karena tanpa adanya kemampuan dan keahlian yang cukup untuk menjalankan tugas sebagai guru tujuan pendidikan dan pembelajaran tidak akan tercapai, sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW. berikut ini :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : "إِذَا وُسِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتِظِرِ السَّاعَةَ" (رواه البخاري)[5]

Artinya :Diriwayatkan dari Abu Harairoh ra. berkata, Rasulullah SAW. bersabda : "Bila suatu urusan dikerjakkan oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya". (HR. Bukhori).

Berdasarkan hadits di atas jelas bahwa suatu pekerjaan yang ditangani oleh orang yang tidak mempunyai keahlian akan mengalami kegagalan, apalagi pekerjaan sebagai guru Pendidikan Agama Islam yang harus mempunyai keahlian-keahlian tertentu di bidang pengajaran, sekaligus mempunyai kompetensi dan kemampuan pada bidang pelajaran yang diajarkan.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa  kemampuan mengajar guru sangat penting dalam dunia pendidikan.



[1] Jamaluddin, Pembelajaran Yang Efektif,  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001),  hlm. 36.
[2] Ahmad Ludjito, Pendidikan Agama Sebagai Subsistem dan Implementasinya dalam Pendidikan Nasional, dalam Chabib Thoha & Abdul Mu'ti, PBM-PAI di Sekolah, (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 25.
[3] Cece Wijaya & A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Mengajar Guru Dalam Proses Belajar-Mengajar, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 2.
[4] Chabib Toha dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 11.
[5] Jalaluddin Abdur Rohman bin Abi Bakar As-Syuyuti, Jami’us Shaghir, Jilid 1, (Bandung : Al-Ma’arif, t.t.)., hlm. 36.

Sabtu, 08 Januari 2011

Bocah

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT ISLAM



KONSEP PENDIDIKAN MENURUT ISLAM
KAJIAN TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 269
DAN SURAT AL-JUMU’AH AYAT 2
Oleh : Ustadz Jaswo

A. SURAT AL-BAQARAH AYAT 269

يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتِى الْحِكْمَةََ فَقَدْ أَوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً وَمَا يَذَّكَرُ إِلاَّ أُوْلُوْ الأَلْبَابِ (البقرة, 269)  
Artinya :
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah : 269)[1]


B. KAJIAN TAFSIR MUFRODAT SURAT AL-BAQAROH AYAT 269 :
1.      Menurut Al-Maraghi : Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat yang mempunyai kesan di dalam jiwa seseorang sehingga mampu mendorong seseorang untuk melakukan amal perbuatan yang bisa mengantarkan seseorang kepada keselamatan dunia dan akhirat.[2]
2.      Menurut Al-Jalilainiy : َالْحِكْمَة  adalah ilmu yang bermanfaat yang mampu mendorong untuk beramal/berbuat (jadi sifatnya aktif) sebagaimana disebutkan وَمَنْ يُؤْتِى الْحِكْمَةََ فَقَدْ أَوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً barang siapa yang diberi hikmah ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak, karena hikmah tersebut menyampaikan pada keselamatan yang selama-lamanya.[3]
3.        Menurut Ash-Shawiy : َالْحِكْمَة  diartikan sebagai ilmu yang bermanfaat, ini adalah merupakan pendapat paling shahih dan yang mendekati dengan kebenaran. Dalam penafsiran َالْحِكْمَة  terdapat banyak pendapat. Ada yang memaknai  َالْنبوّة  (kenabian), ada yang mengartikan pengertian hukum-hukum Al-Qur’an, ada yang mengatakan kecocokan antara ucapan dan perbuatan. Ada yang mengatakan memahami agama secara mutlak, ada yang mengatakan takut kepada Allah. Ada yang memaknai “Al-Qur’an dengan berpedoman Hadits” Jika Allah bermaksud menurunkan adzab atas suatu kaum kemudian didengar orang yang mengajarkan Hikmah (Al-Qur’an) juga Hadits pada anak-anak kecil, maka Allah mengangkat adzab dari kaum tersebut. “Tidak boleh merasa iri kecuali dalam dua hal, yaitu seorang laki-laki diberi kekuasaan atas harta benda, kemudian digunakan untuk kebaikan, dan seorang laki-laki yang diberi hikmah (Al-Qur’an) kemudian dia memutuskan perkaranya dengan hikmah tersebut dan mengajarkan kepada sesama manusia”(َالمؤدي للعمل ). Adapun ilmu yang hanya diucapkan dengan lidah tanpa menyentuh hati sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allah, maka tidak bisa disebut َالْحِكْمَة  bahkan orang tersebut akan disiksa atas ucapannya dan akan dibangkitkan dalam keadaan bodoh.
أُوْلُوْ الأَلْبَابِ yaitu orang-orang yang mempunyai akal yang sepmurna yang selamat dari campuran-campuran yang mengotori.[4]

4.      Menurut An-Nawawiy :  َالْحِكْمَة  adalah ilmu yang bermanfaat dan perilaku yang benar, (َالْحِكْمَة ) berakhlak sesuai dengan akhlaknya Allah, sesuai dengan kemampuan manusia sebagai mana Hadits “ Berakhlaklah dengan akhlak Allah”  يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ  adanya kecocokan antara ucapan, perbuatan dan pemikiran. فَقَدْ أَوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً  sungguh diberi kebaikan dan dunia. وَمَا يَذَّكَرُ tidak memikirkan hikmah. إِلاَّ أُوْلُوْ الأَلْبَابِ kecuali orang-orang yang mempunyai akal yang selamat dari condong mengikuti dorongan-dorongan hawa nafsu.[5]
C. PENJELASAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 269
1.      Pemberian hikmah dari Allah SWT. kepada orang-orang yang dikehendaki يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ. Dengan hikmah tersebut seseorang bisa membedakan yang haq dari yang hanya prasangka dan bisa dengan mudah membedakan antara bujukan syaitan dan hawa nafsu dengan ilham.
2.      Alat untuk mendapatkan hikmah adalah akal yang merdeka dalam menemukan hukum-hukum darin sesuatu disertai dengan dalil-dalil/petunjuk-petunjuk, memahami perkara sesuai kenyataannya. Maka orang yang diberi hal yang demikian itu bisa membedakan mana janjinya Tuhan dan mana yang janjinya setan. Sehingga mau memegang janji Tuhan (Ar-Rahman) yang sempurna dengan sungguh-sungguh dan membuang janji-janjinya setan dengan meninggalkannya. Allah menjanjikan, dengan berinfaq maka harta benda akan bertambah. Sedangkan setan menjanjikan dengan infaq maka akan menjadi fakir sehingga orang menjadi kikir.
3.      Ayat di atas sangat mengangkat kedudukan hikmah dengan keluasan maknanya, dan menunjukkan pentingnya penggunaan akal serta kemuliaan –kemuliaannya.
4.      Orang yang diberi hikmah akan menggunakan petunjuk akalnya dan mengarahkannya pada arah yang benar. Dia akan menggunakan segala potensinya, pendengaran, penglihatan dsan perasaannya untuk mencapai apa-apa yang dicintai oleh Allah. Kemudian segala urusannya hanya untuk  Allah yang telah menciptakannya. Hanya dari-Nya lah permulaannya dan kepada-Nya lah tempat kembali. Dengan demikian dia akan merasa selamat dari bujukan-bujukan setan dan tidak merasa berat atas cobaan yang dialaminya dalam kehidupan karena ia yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas putusan dan kehendak Allah. Dengan demikian hatinya merasa lega, selamat atas kejadian-kejadian yang mengejutkan di setiap malam maupun siang hari.



D.  SURAT AL-JUMU’AH AYAT 2

هُوَ اَّلذِيْ بَعَثَ فىِ الأُمِّيِّنَ رَسُوْلأ مِنْهُمْ يَتْلُوْاعَلَيْهِمْ أَياَتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ (الجمعة, 2)
Artinya :
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Jumu’ah : 2)[6].

E. TAFSIR MUFRODAT SURAT AL-JUMU’AH AYAT 2
1. Menurut Al-Maraghi :   الأُمِّيِّنَ  adalah orang Arab kebanyakan, bentuk mufrodnya أُمِّيِّ penisbatan kepada ibu yang telah melahirkannya. Karena orang yang ummiy menetapi keadaan ketika dia dilahirkan, yaitu tidak tahu tulisan maupun hitungan, sehingga mereka seperti pada keadaan semula. َيُزَكِّيْهِمْ   mensucikan mereka dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an[7] وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ seperti tafsir dalam ayat 269 Surat Al-Baqarah. Dan di sini menurut hemat kami yang menjadi persoalan dengan konteks Konsep Pendidikan Islam.

F. PENJELASAN SURAT AL-JUM’AH AYAT 2
Yang perlu mendapatkan penguatan dalam ayat ini tentang Konsep Pendidikan adalah  هُوَ اَّلذِيْ بَعَثَ فىِ الأُمِّيِّنَ رَسُوْلأ مِنْهُمْ  kata رَسُوْلأ  adalah pribadi Nabi sendiri orang yang ummiy dan risalah yang dibawa. Dengan diutusnya Nabi dalam keadaan ummiy tentunya ada maksud tersendiri.
Yang perlu ditekankan di sini adalah yang kedua, yaitu tentang Risalah. Tujuan diutusnya Rasul adalah mengemban misi :
1.       Membacakan/menyampaikan kepada ummatnya ayat-ayat Al-Qur’an, yang dengan ayat-ayat tersebut akan dicapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.       Membersihkan manusia dari noda-noda kemusyrikan, tindakan orang-orang jahiliyah, menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT.
3.       Mengajarkan kitab dan hikmah, mengajarkan syari’at-syari’at, hukum hikmah dan rahasia, karena dia telah diberi pengetahuan tentang hakikat-hakikat yang datangnya atas petunjuk Allah SWT.






--o0(ana)0o—































BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Konsep pendidikan menurut Islam adalah upaya secara sadar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat.
Islam memperlakukan manusia sebagai kesatuan yang utuh, terdapat persambungan yang jelas antara sisi ke-duniaan dan sisi ke-akhiratan مما يوصل إلى سعادة الدنيا والأخرة  . Manusia telah membawa fungsi ke-Tuhanan sebagai khalifah Allah di muka bumi خليفة فى الأرض   dengan tugas kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam melaksanakan tugas yang demikian, manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya kejadian  فى أحسن تقويم  yang dilengkapi dengan kewenangan untuk mengambil inisiatif dalam mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Oleh karena itu gradasi manusia selain ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu pengetahuan (dengan melalui proses pendidikan ), juga ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

B. KATA PENUTUP
Demikian makalah sederhana yang telah kami susun guna untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir. Harapan kami meskipun singkat dan sangat sederhana semoga dapat bermanfaat bagi kami. Amiin. Kritik, saran dan masukan atas ketidak sempurnaan makalah ini sangat kami harapkan dari para pembaca dan teman-teman, khususnya dari Ibu Dosen pengampu MK. Tafsir.






DAFTAR PUSTAKA



1. Al-Jawiy, Muhammad Nawawi, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi, Surabaya, Al-Hidayah, tt.

2. Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan As-Suyuthi, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Al-Jalalainiy, Surabaya, Alhidayah, tt.

3. Al-Maraghi, Ahmad Musthofa  Tafsir Al-Maraghi, Bairut Turki, Dar Al-Fikr, 1974.

4. Asronah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat, PT.Logos Wacana Ilmu, Cet.ke II, 2001.

5.  Jamil, Shidqi Muhammad, Hasyiyah Al-Shawi ‘Ala Tafsir Al-Jalalain, Sanqafurah, Jeddah, Al-Haramain.

6. Soenarjo, RHA., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Intermasa, 1974.

7. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989.









---oO(@N@)Oo---


BAB II
KONSEP PENDIDIKAN MENURUT ISLAM
KAJIAN TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 269
DAN SURAT AL-JUMU’AH AYAT 2

A. SURAT AL-BAQARAH AYAT 269

يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتِى الْحِكْمَةََ فَقَدْ أَوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً وَمَا يَذَّكَرُ إِلاَّ أُوْلُوْ الأَلْبَابِ (البقرة, 269)  
Artinya :
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah : 269)[8]


B. KAJIAN TAFSIR MUFRODAT SURAT AL-BAQAROH AYAT 269 :
5.      Menurut Al-Maraghi : Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat yang mempunyai kesan di dalam jiwa seseorang sehingga mampu mendorong seseorang untuk melakukan amal perbuatan yang bisa mengantarkan seseorang kepada keselamatan dunia dan akhirat.[9]
6.      Menurut Al-Jalilainiy : َالْحِكْمَة  adalah ilmu yang bermanfaat yang mampu mendorong untuk beramal/berbuat (jadi sifatnya aktif) sebagaimana disebutkan وَمَنْ يُؤْتِى الْحِكْمَةََ فَقَدْ أَوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً barang siapa yang diberi hikmah ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak, karena hikmah tersebut menyampaikan pada keselamatan yang selama-lamanya.[10]
7.        Menurut Ash-Shawiy : َالْحِكْمَة  diartikan sebagai ilmu yang bermanfaat, ini adalah merupakan pendapat paling shahih dan yang mendekati dengan kebenaran. Dalam penafsiran َالْحِكْمَة  terdapat banyak pendapat. Ada yang memaknai  َالْنبوّة  (kenabian), ada yang mengartikan pengertian hukum-hukum Al-Qur’an, ada yang mengatakan kecocokan antara ucapan dan perbuatan. Ada yang mengatakan memahami agama secara mutlak, ada yang mengatakan takut kepada Allah. Ada yang memaknai “Al-Qur’an dengan berpedoman Hadits” Jika Allah bermaksud menurunkan adzab atas suatu kaum kemudian didengar orang yang mengajarkan Hikmah (Al-Qur’an) juga Hadits pada anak-anak kecil, maka Allah mengangkat adzab dari kaum tersebut. “Tidak boleh merasa iri kecuali dalam dua hal, yaitu seorang laki-laki diberi kekuasaan atas harta benda, kemudian digunakan untuk kebaikan, dan seorang laki-laki yang diberi hikmah (Al-Qur’an) kemudian dia memutuskan perkaranya dengan hikmah tersebut dan mengajarkan kepada sesama manusia”(َالمؤدي للعمل ). Adapun ilmu yang hanya diucapkan dengan lidah tanpa menyentuh hati sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allah, maka tidak bisa disebut َالْحِكْمَة  bahkan orang tersebut akan disiksa atas ucapannya dan akan dibangkitkan dalam keadaan bodoh.
أُوْلُوْ الأَلْبَابِ yaitu orang-orang yang mempunyai akal yang sepmurna yang selamat dari campuran-campuran yang mengotori.[11]

8.      Menurut An-Nawawiy :  َالْحِكْمَة  adalah ilmu yang bermanfaat dan perilaku yang benar, (َالْحِكْمَة ) berakhlak sesuai dengan akhlaknya Allah, sesuai dengan kemampuan manusia sebagai mana Hadits “ Berakhlaklah dengan akhlak Allah”  يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ  adanya kecocokan antara ucapan, perbuatan dan pemikiran. فَقَدْ أَوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً  sungguh diberi kebaikan dan dunia. وَمَا يَذَّكَرُ tidak memikirkan hikmah. إِلاَّ أُوْلُوْ الأَلْبَابِ kecuali orang-orang yang mempunyai akal yang selamat dari condong mengikuti dorongan-dorongan hawa nafsu.[12]
C. PENJELASAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 269
5.      Pemberian hikmah dari Allah SWT. kepada orang-orang yang dikehendaki يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ. Dengan hikmah tersebut seseorang bisa membedakan yang haq dari yang hanya prasangka dan bisa dengan mudah membedakan antara bujukan syaitan dan hawa nafsu dengan ilham.
6.      Alat untuk mendapatkan hikmah adalah akal yang merdeka dalam menemukan hukum-hukum darin sesuatu disertai dengan dalil-dalil/petunjuk-petunjuk, memahami perkara sesuai kenyataannya. Maka orang yang diberi hal yang demikian itu bisa membedakan mana janjinya Tuhan dan mana yang janjinya setan. Sehingga mau memegang janji Tuhan (Ar-Rahman) yang sempurna dengan sungguh-sungguh dan membuang janji-janjinya setan dengan meninggalkannya. Allah menjanjikan, dengan berinfaq maka harta benda akan bertambah. Sedangkan setan menjanjikan dengan infaq maka akan menjadi fakir sehingga orang menjadi kikir.
7.      Ayat di atas sangat mengangkat kedudukan hikmah dengan keluasan maknanya, dan menunjukkan pentingnya penggunaan akal serta kemuliaan –kemuliaannya.
8.      Orang yang diberi hikmah akan menggunakan petunjuk akalnya dan mengarahkannya pada arah yang benar. Dia akan menggunakan segala potensinya, pendengaran, penglihatan dsan perasaannya untuk mencapai apa-apa yang dicintai oleh Allah. Kemudian segala urusannya hanya untuk  Allah yang telah menciptakannya. Hanya dari-Nya lah permulaannya dan kepada-Nya lah tempat kembali. Dengan demikian dia akan merasa selamat dari bujukan-bujukan setan dan tidak merasa berat atas cobaan yang dialaminya dalam kehidupan karena ia yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas putusan dan kehendak Allah. Dengan demikian hatinya merasa lega, selamat atas kejadian-kejadian yang mengejutkan di setiap malam maupun siang hari.



D.  SURAT AL-JUMU’AH AYAT 2

هُوَ اَّلذِيْ بَعَثَ فىِ الأُمِّيِّنَ رَسُوْلأ مِنْهُمْ يَتْلُوْاعَلَيْهِمْ أَياَتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ (الجمعة, 2)
Artinya :
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Jumu’ah : 2)[13].

E. TAFSIR MUFRODAT SURAT AL-JUMU’AH AYAT 2
1. Menurut Al-Maraghi :   الأُمِّيِّنَ  adalah orang Arab kebanyakan, bentuk mufrodnya أُمِّيِّ penisbatan kepada ibu yang telah melahirkannya. Karena orang yang ummiy menetapi keadaan ketika dia dilahirkan, yaitu tidak tahu tulisan maupun hitungan, sehingga mereka seperti pada keadaan semula. َيُزَكِّيْهِمْ   mensucikan mereka dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an[14] وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ seperti tafsir dalam ayat 269 Surat Al-Baqarah. Dan di sini menurut hemat kami yang menjadi persoalan dengan konteks Konsep Pendidikan Islam.

F. PENJELASAN SURAT AL-JUM’AH AYAT 2
Yang perlu mendapatkan penguatan dalam ayat ini tentang Konsep Pendidikan adalah  هُوَ اَّلذِيْ بَعَثَ فىِ الأُمِّيِّنَ رَسُوْلأ مِنْهُمْ  kata رَسُوْلأ  adalah pribadi Nabi sendiri orang yang ummiy dan risalah yang dibawa. Dengan diutusnya Nabi dalam keadaan ummiy tentunya ada maksud tersendiri.
Yang perlu ditekankan di sini adalah yang kedua, yaitu tentang Risalah. Tujuan diutusnya Rasul adalah mengemban misi :
1.       Membacakan/menyampaikan kepada ummatnya ayat-ayat Al-Qur’an, yang dengan ayat-ayat tersebut akan dicapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.       Membersihkan manusia dari noda-noda kemusyrikan, tindakan orang-orang jahiliyah, menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT.
3.       Mengajarkan kitab dan hikmah, mengajarkan syari’at-syari’at, hukum hikmah dan rahasia, karena dia telah diberi pengetahuan tentang hakikat-hakikat yang datangnya atas petunjuk Allah SWT.






--o0(ana)0o—































BAB III
PENUTUP

B.      KESIMPULAN
Konsep pendidikan menurut Islam adalah upaya secara sadar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat.
Islam memperlakukan manusia sebagai kesatuan yang utuh, terdapat persambungan yang jelas antara sisi ke-duniaan dan sisi ke-akhiratan مما يوصل إلى سعادة الدنيا والأخرة  . Manusia telah membawa fungsi ke-Tuhanan sebagai khalifah Allah di muka bumi خليفة فى الأرض   dengan tugas kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam melaksanakan tugas yang demikian, manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya kejadian  فى أحسن تقويم  yang dilengkapi dengan kewenangan untuk mengambil inisiatif dalam mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Oleh karena itu gradasi manusia selain ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu pengetahuan (dengan melalui proses pendidikan ), juga ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

B. KATA PENUTUP
Demikian makalah sederhana yang telah kami susun guna untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir. Harapan kami meskipun singkat dan sangat sederhana semoga dapat bermanfaat bagi kami. Amiin. Kritik, saran dan masukan atas ketidak sempurnaan makalah ini sangat kami harapkan dari para pembaca dan teman-teman, khususnya dari Ibu Dosen pengampu MK. Tafsir.






DAFTAR PUSTAKA



1. Al-Jawiy, Muhammad Nawawi, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi, Surabaya, Al-Hidayah, tt.

2. Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan As-Suyuthi, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Al-Jalalainiy, Surabaya, Alhidayah, tt.

3. Al-Maraghi, Ahmad Musthofa  Tafsir Al-Maraghi, Bairut Turki, Dar Al-Fikr, 1974.

4. Asronah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat, PT.Logos Wacana Ilmu, Cet.ke II, 2001.

5.  Jamil, Shidqi Muhammad, Hasyiyah Al-Shawi ‘Ala Tafsir Al-Jalalain, Sanqafurah, Jeddah, Al-Haramain.

6. Soenarjo, RHA., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Intermasa, 1974.

7. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989.









---oO(@N@)Oo---





[1] RHA. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Intermasa, 1974, hlm. 67.
[2] Ahmad Musthofa Al-Maraghi,  Tafsir Al-Maraghi, Bairut Turki, Dar Al-Fikr, 1974, hlm. 50.
[3] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Surabaya, Alhidayah, tt, hlm. 6.
[4] Shidqi Muhammad Jamil, Hasyiyah Al-Shawi ‘Ala Tafsir Al-Jalalain, Sanqafurah, Jeddah, Al-Haramain, tt. Hlm. 15.
[5] Muhammad Nawawi Al-Jawiy, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi, Surabaya, Al-Hidayah, tt, hlm. 7.
[6] Ibid, hlm. 932.
[7] Ahmad Musthofa Al-Maraghi,  op cit, hlm.
[8] RHA. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Intermasa, 1974, hlm. 67.
[9] Ahmad Musthofa Al-Maraghi,  Tafsir Al-Maraghi, Bairut Turki, Dar Al-Fikr, 1974, hlm. 50.
[10] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Surabaya, Alhidayah, tt, hlm. 6.
[11] Shidqi Muhammad Jamil, Hasyiyah Al-Shawi ‘Ala Tafsir Al-Jalalain, Sanqafurah, Jeddah, Al-Haramain, tt. Hlm. 15.
[12] Muhammad Nawawi Al-Jawiy, Marah Labiid Tafsir An-Nawawi, Surabaya, Al-Hidayah, tt, hlm. 7.
[13] Ibid, hlm. 932.
[14] Ahmad Musthofa Al-Maraghi,  op cit, hlm.